KORUPSI SEBAGAI SALAH SATU KEJAHATAN LUAR BIASA (EXTRA ORDINARY CRIME)


BAB I
PENDAHULUAN

Dalam prakteknya, korupsi lebih dikenal sebagai menerima uang yang ada hubungannya dengan jabatan tanpa ada catatan atau administrasinya. Balas jasa yang diberikan oleh pejabat, disadari atau tidak, adalah kelonggaran aturan yang semestinya diterapkan secara ketat. Kompromi dalam pelaksanaan kegiatan yang berkaitann dengan jabatan tertentu dalam jajaran birokrasi di Indonesia inilah yang dirasakan sudah sangat mengkhawatirkan.
Korupsi seringkali dipandang oleh masyarakat sebagai perbuatan yang ditentang dan dikutuk, dicaci dan dimaki, serta digambarkan sebagai perbuatan yang tidak bermoral dan berkaitan dengan keserakan, dan ketamakan sekelompok masyarakat dengan menggunakan harta negara serta melawan hukum, penyalahgunaan jabatan serta perbuatan lain yang dipandang sebagai hambatan dan gangguan dalam membangun negara.
Berdasarkan hasil penelitian Transparency International (TI) selama enam tahun berturut-turut dari tahun 1995-2000, Indonesia selalu menduduki posisi sepuluh besar sebagai negara paling korup didunia. Selanjutnya, berdasarkan penelitian political and economic risk consultancy (PERC) tahun 1997, Indonesia menempati posisi negara terkorup di Asia. Pada tahun 2001, posisi Indonesia menjadi negara terkorup nomaor dua setelah Vietnam.
Tingkat korupsi Indonesia pada lima tahun berikutnya, dari tahun 2001 samapai 2005, tidak menunjukkan penurunan berarti. Masih menurut hasil penelitian Teransparency International, pada tahun terakhir, Indonesia betah bertahan disepuluh besar negara paling korup didunia. Pada tahun 2004, misalnya, Indonesia menjadi negara paling korup nomor lima didunia dengan corruption perception index (CPI), serta menjadi negara paling korup nomor satu di Asia tenggara.
Menyimak laporan hasil survei korupsi yang dirilis oleh Transparency Internasional (TI) tahun 2006, indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia menempati urutan ke-130 dari 163 negara. Angka ini lebih baik di banding tahun 2005, dimana Indonesia menempati urutan 137 dari 159 negara yang di survei, selain itu skor Indonesia tahun 2006 sedikit lebih baik. Dibanding tahun 2005, Indonesia menempati urutan ketujuh negara paling korup diantara 163 negara.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Korupsi
Korupsi merupakan suatu bentuk perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan atau perekonomian negara. Menurut UU No. 31 tahun 1999 yang termasuk dalam tindak pidana korupsi sebagai berikut:
1. Secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 2);
2. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan negara atau perekonomian negara (Pasal 3)
3. Memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri mengingat kekuasaan atau wewenangnya yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut (Pasal 13)
Berdasarkan rumusan-rumusan diatas, maka korupsi merupakan suatu bentuk tindak pidana yaitu perbuatan melawan hukum yang bertujaun menguntungkan diri sendiri atau orang lain, perusahaan dan menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang melekat pada jabatan yang merugikan keuangan negara.
Ditinjau dari segi istilah “Korupsi” berasal dari kata “Corrupteia” dalam bahasa latin “Bribery” berarti penyuapan atau “Seduction” makna yang diartikan “Corrupti” atau “Corruptus” diartikan sebagai memberikan, menyerahkan kepada seorang untuk agar orang tadi berbuat untuk atau guna keuntungan (dari pemberi). Sedangkan yang diartikan sebagai “Seduction” atau penggoda ialah sesuatu yang menarik untuk membuat seseorang menyeleweng dan dipakai juga untuk menunjukkan keadaan dan perbuatan yang busuk. Korupsi banyak dikaitkan dengan ketidak jujuran seseorang dibidang keuangan.
Secara “Harfiah” korupsi adalah kebusukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat disuap, penyimpangan dari kesucian, kata-kata bernuansa menghina atau mefitnah, penyuapan, niet ambtelijk corruptie; dalam bahasa Indonesia kata korupsi adalah perbuatan buruk, seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya.
Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (1) UU No. 31 tahun 1999 jo UU Nomor 20 tahun 2001 “Tentang Tindak Pidana Korupsi”, menyatakan bahwa korupsi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
Makna korupsi berkembang dari waktu ke waktu sebagai pencerminan kehidupan masyarakat dari sisi negatif. Semula istilah korupsi merupakan istilah yang banyak dipakai dalam ilmu politik, kemudian menjadi sorotan berbagai disiplin ilmu.
Ada beberapa definisi lain yang dimuat dalam berbagai literatur, yang menjelaskan tentang pengertian korupsi menurut para sarjana, antara lain;
1. Syed Hussein Alatas
Korupsi adalah pengangkatan sanak saudara, teman-teman atau kelompok-kelompok politik pada jabatan-jabatan kedinasan aparatur pemerintah tanpa memandang keahlian mereka, maupun konsekuensinya pada kesejahteraan masyarakat yang dinamakan nepotisme, sehingga dapat diketahui adanya empat jenis perbuatan yang tercakup dalam istilah korupsi, yakni; penyuapan, nepotisme, pemerasan, dan penggelapan.
2. Ediwarman
Korupsi adalah merupakan salah satu bentuk kejahatan atau tindak pidana yang bertujuan untuk memperkaya diri dan secara langsung merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

3. T. Gayus Lumbuun
Korupsi adalah perbuatan yang dilakukan dengan melibatkan pihak-pihak secara luas, bahkan dengan menggunakan sarana teknologi seperti media elektronik atau alat optik yang sulit diungkapkan.

B. Sebab-sebab Korupsi
Tindak korupsi bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Perilaku korupsi menyangkut berbagai hal yang sifatnya kompleks. Faktor-faktor penyebabnya bisa dari internal pelaku-pelaku korupsi, tetapi bisa juga bisa berasal dari situasi lingkungan yang kondusif bagi seseorang untuk melakukan korupsi. Berikut ini adalah aspek-aspek penyebab seseorang berbuat Korupsi.
Menurut Dr. Sarlito W. Sarwono, tidak ada jawaban yang persis, tetapi ada dua hal yang jelas, yakni :
a) Dorongan dari dalam diri sendiri (keinginan, hasrat, kehendak dan sebagainya),
b) Rangsangan dari luar (dorongan teman-teman, adanya kesempatan, kurang kontrol dan sebagainya.
Dr. Andi Hamzah dalam disertasinya menginventarisasikan beberapa penyebab korupsi, yakni :
a) Kurangnya gaji pegawai negeri dibandingkan dengan kebutuhan yang makin meningkat;
b) Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang merupakan sumber atau sebab meluasnya korupsi;
c) Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan efisien, yang memberikan peluang orang untuk korupsi;
d) Modernisasi pengembangbiakan korupsi
Analisa yang lebih detil lagi tentang penyebab korupsi diutarakan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam bukunya berjudul “Strategi Pemberantasan Korupsi,” antara lain :

1. Aspek Individu Pelaku
a. Sifat tamak manusia
Kemungkinan orang melakukan korupsi bukan karena orangnya miskin atau penghasilan tak cukup. Kemungkinan orang tersebut sudah cukup kaya, tetapi masih punya hasrat besar untuk memperkaya diri. Unsur penyebab korupsi pada pelaku semacam itu datang dari dalam diri sendiri, yaitu sifat tamak dan rakus.

b. Moral yang kurang kuat
Seorang yang moralnya tidak kuat cenderung mudah tergoda untuk melakukan korupsi. Godaan itu bisa berasal dari atasan, teman setingkat, bawahanya, atau pihak yang lain yang memberi kesempatan untuk itu.

c. Penghasilan yang kurang mencukupi
Penghasilan seorang pegawai dari suatu pekerjaan selayaknya memenuhi kebutuhan hidup yang wajar. Bila hal itu tidak terjadi maka seseorang akan berusaha memenuhinya dengan berbagai cara. Tetapi bila segala upaya dilakukan ternyata sulit didapatkan, keadaan semacam ini yang akan memberi peluang besar untuk melakukan tindak korupsi, baik itu korupsi waktu, tenaga, pikiran dalam arti semua curahan peluang itu untuk keperluan di luar pekerjaan yang seharusnya.

d. Kebutuhan hidup yang mendesak
Dalam rentang kehidupan ada kemungkinan seseorang mengalami situasi terdesak dalam hal ekonomi. Keterdesakan itu membuka ruang bagi seseorang untuk mengambil jalan pintas diantaranya dengan melakukan korupsi.

e. Gaya hidup yang konsumtif
Kehidupan di kota-kota besar seringkali mendorong gaya hidup seseong konsumtif. Perilaku konsumtif semacam ini bila tidak diimbangi dengan pendapatan yang memadai akan membuka peluang seseorang untuk melakukan berbagai tindakan untuk memenuhi hajatnya. Salah satu kemungkinan tindakan itu adalah dengan korupsi.

f. Malas atau tidak mau kerja
Sebagian orang ingin mendapatkan hasil dari sebuah pekerjaan tanpa keluar keringat alias malas bekerja. Sifat semacam ini akan potensial melakukan tindakan apapun dengan cara-cara mudah dan cepat, diantaranya melakukan korupsi.

g. Ajaran agama yang kurang diterapkan
Indonesia dikenal sebagai bangsa religius yang tentu akan melarang tindak korupsi dalam bentuk apapun. Kenyataan di lapangan menunjukkan bila korupsi masih berjalan subur di tengah masyarakat. Situasi paradok ini menandakan bahwa ajaran agama kurang diterapkan dalam kehidupan.

2. Aspek Organisasi
a. Kurang adanya sikap keteladanan pimpinan
Posisi pemimpin dalam suatu lembaga formal maupun informal mempunyai pengaruh penting bagi bawahannya. Bila pemimpin tidak bisa memberi keteladanan yang baik di hadapan bawahannya, misalnya berbuat korupsi, maka kemungkinan besar bawahnya akan mengambil kesempatan yang sama dengan atasannya.

b. Tidak adanya kultur organisasi yang benar
Kultur organisasi biasanya punya pengaruh kuat terhadap anggotanya. Apabila kultur organisasi tidak dikelola dengan baik, akan menimbulkan berbagai situasi tidak kondusif mewarnai kehidupan organisasi. Pada posisi demikian perbuatan negatif, seperti korupsi memiliki peluang untuk terjadi.

c. Sistim akuntabilitas yang benar di instansi pemerintah yang kurang memadai
Pada institusi pemerintahan umumnya belum merumuskan dengan jelas visi dan misi yang diembannya dan juga belum merumuskan dengan tujuan dan sasaran yang harus dicapai dalam periode tertentu guna mencapai misi tersebut. Akibatnya, terhadap instansi pemerintah sulit dilakukan penilaian apakah instansi tersebut berhasil mencapai sasaranya atau tidak. Akibat lebih lanjut adalah kurangnya perhatian pada efisiensi penggunaan sumber daya yang dimiliki. Keadaan ini memunculkan situasi organisasi yang kondusif untuk praktik korupsi.

d. Kelemahan sistim pengendalian manajemen
Pengendalian manajemen merupakan salah satu syarat bagi tindak pelanggaran korupsi dalam sebuah organisasi. Semakin longgar/lemah pengendalian manajemen sebuah organisasi akan semakin terbuka perbuatan tindak korupsi anggota atau pegawai di dalamnya.

e. Manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasi
Pada umumnya jajaran manajemen selalu menutupi tindak korupsi yang dilakukan oleh segelintir oknum dalam organisasi. Akibat sifat tertutup ini pelanggaran korupsi justru terus berjalan dengan berbagai bentuk.

3. Aspek Tempat Individu dan Organisasi Berada
a. Nilai-nilai di masyarakat kondusif untuk terjadinya korupsi Korupsi bisa ditimbulkan oleh budaya masyarakat. Misalnya, masyarakat menghargai seseorang karena kekayaan yang dimilikinya. Sikap ini seringkali membuat masyarakat tidak kritis pada kondisi, misalnya dari mana kekayaan itu didapatkan.

b. Masyarakat kurang menyadari sebagai korban utama korupsi Masyarakat masih kurang menyadari bila yang paling dirugikan dalam korupsi itu masyarakat. Anggapan masyarakat umum yang rugi oleh korupsi itu adalah negara. Padahal bila negara rugi, yang rugi adalah masyarakat juga karena proses anggaran pembangunan bisa berkurang karena dikorupsi.
c. Masyarakat kurang menyadari bila dirinya terlibat korupsi Setiap korupsi pasti melibatkan anggota masyarakat. Hal ini kurang disadari oleh masyarakat sendiri. Bahkan seringkali masyarakat sudah terbiasa terlibat pada kegiatan korupsi sehari-hari dengan cara-cara terbuka namun tidak disadari.

d. Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi akan bisa dicegah dan diberantas bila masyarakat ikut aktif Pada umumnya masyarakat berpandangan masalah korupsi itu tanggung jawab pemerintah. Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi itu bisa diberantas hanya bila masyarakat ikut melakukannya.

e. Aspek peraturan perundang-undangan Korupsi mudah timbul karena adanya kelemahan di dalam peraturan perundang-undangan yang dapat mencakup adanya peraturan yang monopolistik yang hanya menguntungkan kroni penguasa, kualitas peraturan yang kurang memadai, peraturan yang kurang disosialisasikan, sangsi yang terlalu ringan, penerapan sangsi yang tidak konsisten dan pandang bulu, serta lemahnya bidang evaluasi dan revisi peraturan perundang-undangan.

C. Faktor-faktor Yang Menyebabkan Sulitnya Tindak Pidana Korupsi Diberantas
Adapun beberapa faktor yang menyebabkan sulitnya tindak pidana korupsi diberantas adalah:

1. Pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia selalu dikaitkan dengan politik.
Contoh kasus yang dapat diperhatikan dalam hal ini adalah; Kasus dugaan korupsi yang dilakukan oleh Akbar Tandjung semasa menjabat menjadi menteri sekretaris negara, kasus ini tidak bisa ditilik hanya dari sudut hukum semata karena kasus itu sendiri sarat muatan politis sebagai kosenkuensi logis posisi Akbar Tandjung sebagai ketua DPR dan Ketua Umum Partai Golkar. Sehingga terlepas dari kebnaran materi perkaranya, kasus ini terlanjur bernuansa politik.
Serta langkah berani KPK selalu di hadang oleh berbagai tekanan maupun intimidasi dari mereka yang dirugikan kepentingannya, sehingga secara politis keberadaan KPK tidak didukung oleh kekuasaan yang sedang memerintah. Jikapun ada dukungan, semata-mata artificial karena secara kasat mata sudah terjadi berbagai langkah KPK yang masih “ewuh pakewuh” dan tampak diskriminatif dalam menghadapi berbagai kasus korupsi yang melibatkan pejabat negara dan mereka yang dekat dengan kekuasaan. Dari berbagai peristiwa dan langkah tegas KPK masih tampak juga bahwa keadilan dan penegakkan hukum masih jauh di awang-awang serta belum membumi, masih ada sebagian koruptor yang segera dapat ditahan dan di masukkan kedalam penjara akan tetapi masih banyak lagi mereka yang tidak ditahan dan dimasukkan kedalam penjara dengan berbagai alasan teknis hukum yang sumir sama sekali.

2. Adanya kinerja yang bersifat diskriminatif dan tebang pilih dari para penegak hukum.
Berkaitan dengan politik menyebabkan aparat penegak hukum keterkaitan dengan politik menyebabkan aparat penegak hukum sering dituduh menerapkan prinsip “tebang pilih” dalam menetapkan tersangka/terdakwa/ terpidana. Contoh kasus adalah; Kasus paling aktual tentu mengenai korupsi di KPU (Komisi Pemilihan Umum) yang melibatkan ketua dan seluruh anggota KPU, kecuali 3 (tiga) orang “untouchable” atau “kebal hukum” yang ikut menerima uang tetapi entah mengapa sama sekali tidak diperkarakan. Contoh kasus lain tindak pidan korupsi “tebang pilh” yaitu; Kasus perkara tindak pidana korupsi atas nama Sudjiono Timan, merupakn salah satu direktur pada perusahaan milik Prajogo Pangestu. Bersama-sama dengan Hadi Rusli, Hario Suprobo, Witjaksono Abadiman dianggap melakukan tindak pidan korupsi. Ternyata hanya Sudjiono Timan yang perkaranya sampai ke pengadilan dan kemudian dipuatus bersalah, sementara yang lain-lain menguap begitu saja. Padahal dalam dakwaan jelas JPU menyatakan bahwa keempat orang tersebut melakukan bersama-sama dan berkas perkaranya diajukan secara terpisah. Memang berdasarkan KUHAP, JPU diberi hak untuk memecah maupun menggabungkan perkara beberapa orang terdakwa. Tetapi karena “satu atap” tidak ada yang dapat mengawasi bagaimana pelaksanaan wewenang tersebut. Tidak ada sanksi atau tuntutan bagi JPU yang tidak mengajukan perkara ke Pengadilan.
Kenyataan dalam banyak kasus, wewenang penggabungan maupun pemisahan suatu perkara menjadi lahan KKN yang subur. Dengan adanya penanganan perkara tindak pidana korupsi secara “tebang pilih”, maka suatu perkara korupsi tidak pernah terungkap secara tuntas.

3. Terjadinya tumpang tindih kekuasaan dalam hal melakukan penyelidikan, penuntutan antara lembaga Kejaksaan dan lembaga KPK.
Tidak adanya sinkroniasasi peraturan perundang-undangan, antara pidana materil dengan undang-undang yang mengatur kelembagaan penegak hukum khususnya antara kinerja Kejaksaan dan KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Akibatnya terjadi tumpang tindih persaingan antar lembaga dan semangat membela korps yang sangat kental satu dengan yang lain. Penulis berpendapat, saat ini kita telah memiliki suatu hukum substantif atau hukum materil yang mengatur tentang tindak pidana korupsi yang cukup baik, tegas, dan dengan ancaman yang menakutkan. Tetapi yang menjadi masalah adalah tidak dibarengi dengan integrasidengan hukum lainnya, misalnya UU Kejaksaan, UU Kepolisian, dan UU Kehakiman. Kita juga belum memiliki suatu sistem prosedural yang baik.
Tanpa merubah tatanan sistem secara keseluruhan, mustahil memberantas korupsi sampai keakar-akarnya. Sebetulnya berdasarkan ketentuan UU No 30 tahun 2002 “Tentang KPK” (yang disahkan pada tanggal 27 Desember 2002, LN RI.tahun.2002 Nomor 17) KPK diberi kewenangan untuk menetapkan “Grand Design” bagi pemberantasan korupsi di Indonesia. Tetapi terjadi adalah KPK lebih tertarik untuk “bersaing” merebut simpati politik dalam penanganan perkara korupsi. Serta terjadinya persaingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan antara lembaga Kejaksaan dengan lembaga KPK.

4. Kurangnya peran serta masyarakat dalam memerangi tindak pidana korupsi.
Dari beberapa faktor diatas, penulis juga beranggapan bahwa faktor sulitnya tindak pidana korupsi diberantas adalah; kurang efektifnya peran masyarakat dalam memerangi pemberantasan tindak pidana korupsi. Walaupun di dalam UU No 31 tahun 1999 atau UU No 20 tahun 2001 “Tentang TPK” telah mengatur tentang peranan serta dalam mengambil andil dalam memberantas korupsi, namun pada kenyataannya peran serta masyarakat tersebut belum efektif dilaksanakan. Langkah ini mungkin kalah populer dibandingkan dengan tindakan seperti mengkap atau menahan tersangka koruptor, membongkar dan menyita hasil tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh para koruptor, akan tetapi dengan membangkitkan “awarenes” masyarakat akan memberikan hasil yang lebih pasti.

BAB III
PENUTUP

Secara “Harfiah” korupsi adalah kebusukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat disuap, penyimpangan dari kesucian, kata-kata bernuansa menghina atau mefitnah, penyuapan, niet ambtelijk corruptie; dalam bahasa Indonesia kata korupsi adalah perbuatan buruk, seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya
Faktor-faktor yang menyebabkan sulitnya tindak pidana korupsi diberantas, antara lain;
1. Pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia selalu dikaitkan dengan politik.
2. Adanya kinerja yang bersifat diskriminatif dan tebang pilih dari para penegak hukum.
3. Tejadinya tumpang tindih kekuasaan dalam hal melakukan penyelidikan, penuntutan antara lembaga Kejaksaan dan lembaga KPK.
4. Kurangnya peran serta masyarakat dalam memerangi tindak pidana korupsi.

Buku-buku :

Ramelan, “Penerapan Hukum dan Studi Kasus Korupsi”, makalah, disampaikan sebagai materi penyuluhan hukum di lingkungan PT
(persero) PLN, Distribusi Unit Bisnis Sulawesi selatan, Makassar, 27 Juni 2002, hlm 1.

Puteri Hikmawati, Politik Hukum Pidana dalam UU Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan korupsi, dalam sekretariat Jenderal DPR RI Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi, Reformasi Hukum Nasional.

Atmasasmita, romli, pengantar hukum pidana internasional, Bandung: refika aditama, 2000.

Wiyono, R, Pembahasan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: sinar grafika, 2006.

14 Tanggapan to “KORUPSI SEBAGAI SALAH SATU KEJAHATAN LUAR BIASA (EXTRA ORDINARY CRIME)”

  1. numpang baca dan ambil beberapa kutipan mas. sukses

  2. yahyagabrielle Says:

    izin copas pak…buat bahan renungan dan inspirasi…

  3. LiLLy RidiE Says:

    karena dari ituLah tipikor dikLasifikasikan sebagai tindak pidana khusus dan sudah seharusnya para terpidana tipikor tidak mendapatkan remisi, asimilasi, cb, pb, dan cmb dikarenakan merugikan negara diatas 1 miLyar dan masyarakat.

    • dan juga mungkin lebih baik, agar para koruptor bukan hanya di kurung didalam sel tahanan (yg malah berubah menjadi kamar mewah), tapi jg diberi ganjaran secara mental, seperti bekerja sebagai pembersih jalanan. hal itu pasti bisa membuat mereka menjadi gila, hahaha……

  4. Bagus Oktafian A Says:

    terima kasih artikelnya, ijin menguti mas…

  5. dijudulnya dikatakan kalo korupsi sebagai salah satu kejahatan luar biasa tapi kok di pembahasannya ga ada pembahasan mengenai korupsi sebagai salah satu kejahatan luar biasa? Yang dibahas malah pengertian korupsi, sebab2 korupsi, dan faktor2 yang menyebabkan sulitnya tindak korupsi diberantas…
    apa saya yang gak teliti ya bacanya?

    • terima kasih bro atas koment nya.

      diatas memang tidak secara gamblang saya menulis sesuatu bahwa korupsi sebagai kejahatan luar biasa, namun dari poin2 tersebut diatas lah maka dapat dikatakan korupsi adalah extra ordinary crime, dari faktor akibat yg ditimbulkannya, masalah2 yg akan terjadi, & juga upaya2 yg masih sulit utk menanggulangi masalah korupsi tersebut.

  6. saya mau tanya mas,.dasar hukum mana yg mngatur bahwa korupsi di sebut exta ordinary crime??

    • hidup ini adalah pilihan.. sehingga manusia senantiasa harus selalu memilih. 😀

      begitupun tentang masalah korupsi sebagai kejahatan luar biasa ini, terdapat beberapa tokoh/pakar yg pro dan kontra.. saya pribadi menulis ini tentu sebagai pihak yg setuju terhadap korupsi sebagai extra ordinary crime.

      mengenai dasar hukum, tentu saja tidak ada yg secara langsung menulis bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa.. namun bila kita melihat kepada Konvensi PBB anti korupsi 2003, pada pembukaannya kita dapat melihat mengenai hal2 mengenai dampak & ancaman dari korupsi yg sangat berbahaya bagi kemanusiaan, selanjutnya korupsi bukan lagi merupakan permasalahan lokal namun sebagai permasalahan internasional,.

  7. hehe,itkan klo diliat dari kuantitas dan kualitas serta akibat dan dampaknya saja mas,..blum ada dasar hkum yg bner-bner mngaturnya,.klo saya bilang korupsi bukan extra odinary crime,.gpp ya,.hehe

    • hehe, iya masing2 punya pandangan sendiri2.. beda pendapat itu kan wajar 🙂
      utk masalah korupsi sebagai extra ordinary crime pun menimbulkan pro dan kontra.
      kebanyakan yg korupsi sebagai kejahatan luar biasa, memang dilihat dari dampak yg ditimbulkan dari korupsi tersebut..
      sedangkan yg kontra melihat dari ruang lingkup kejahatan ini..

      btw, thanks komentnya bro, sering2 mampir ya..:D

Tinggalkan komentar