Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Transnasional


BAB I

PENDAHULUAN

Korupsi yang terjadi Indonesia saat ini sudah dalam posisi yang sangat parah dan begitu mengakar dalam setiap sendi kehidupan. Perkembangan praktek korupsi dari tahun ke tahun semakin meningkat, baik dari kuantitas atau jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas semakin sistematis, canggih serta lingkupnya sudah meluas dalam seluruh aspek masyarakat. Peringkat korupsi Indonesia berdasarkan laporan Transparency Internasional sejak 1998-2004 selalu berada dalam peringkat sepuluh besar negara terkorup di dunia. Tahun 1998 (peringkat 6 terkorup dari 85 negara), tahun 1999 (peringkat 3 terkorup dari 98 negara), tahun 2000 (peringkat 5 terkorup dari 90 negara), tahun 2001(peringkat 4 terkorup dari 91 negara), tahun 2002 (peringkat 6 terkorup dari 102 negara), tahun 2003 (peringkat 6 terkorup dari 133 negara). Dan terakhir di tahun 2004, Transparency Internasional menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup ke -5 dari 146 negara.

Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Karena metode konvensional yang selama ini digunakan terbukti tidak bisa menyelesaikan persoalan korupsi yang ada di masyarakat maka dalam penanganannya pun juga harus menggunakan cara-cara luar biasa (extra-ordinary).

Berkembangnya ilmu pengetahuan dan tekhnologi telah merubah pola kehidupan masyarakat menjadi lebih dinamis. Interaksi pola kehidupan masyarakat, tidak lagi terbatas pada linkup wilayah satu negara saja, tetapi sudah meluas hingga lingkup pergauan antar bangsa sebagai pergauan masyarakat internasional. Kondisi ini tentunya akan berimplikasi terhadap bentuk dan jenis kejahatan yang tadinya bersifat konfensional dan individual atau kelompok terbatas, menjadi kejahatan yang modern terorganisir (organized crimes) dengan modus operandi yang semakin rumit (complicated) dan meluas, locus delicti-nya tidak lagi pada satu negara, tetapi telah menyebar di berbagai negara (transnasional crime).

Oleh karena itu usaha penanggulangan dan pemberantasan korupsi merupakan pula usaha seluruh bangsa-bangsa di dunia internasional. Keprihatinan dunia internasional terlihat dari seringnya dibicarakan di berbagai forum internasional walaupun dengan ungkapan atau sebutan yang bermacam-macam antara lain dimasukkan sebagai salah satu bentuk dari Crime as bussines, economic crime, white collar crime, official crime atau sebagai salah satu bentuk dari abuse of power.[1]

Kerjasama Internasional merupakan hal yang tidak bisa kita hindari terutama permasalahan-permasalahan yang menyangkut antar negara atau permasalahan dunia. Permasalahan yang menyangkut kepentingan suatu negara terhadap negara lain yang memungkinkan kedua negara atau lebih membuat suatu keterikatan dalam kebersamaan, tidak terlepas pula masalah pidana yang dilakukan oleh seorang atau lebih warga negara yang melakukan kejahatan dalam negara lain atau dengan kata lain kejahatan transnasional.

Menyikapi hal tersebut, di Indonesia sendiri sudah terdapat dua bentuk kerjasama dengan negara-negara lain kaitannya dengan upaya untuk memberantas terjadinya tindak pidana korupsi yang bersifat lintas negara atau transnasional. Kedua bentuk kerjasama itu adalah kerjasama dibidang ekstradisi dan kerjasama dibidang bantuan timbal balik dalam masalah pidana atau yang lebih dikenal dengan mutual legal assistance (MLA). Hal ini sangat penting untuk dicermati mengingat hubungan antara negara dibatasi oleh adanya yurisdiksi masing-masing negara dan kedaulatan suatu negara. Sehingga tanpa adanya perjanjian-perjanjian antar negara tersebut akan menyulitkan bagi suatu negara untuk memburu pelaku tindak pidana korupsi yang melarikan diri atau sembunyi kenegara lain termasuk upaya untuk memburu aset kekayaan sebagai hasil dari kejahatannya. Sehingga perlu adanya keinginan kuat dari pemerintah untuk menerapkan berbagai perjanjian-perjanjian internasional dalam bentuk kerjasama dalam rangka memberantas tindak pidana korupsi, sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Mochtar Kusumaatmadja bahwa pemberantasan korupsi harus ditingkatkan dalam rangka pengamanan dan penyelamatan keuangan dan kekayaan negara.[2]

BAB II

PEMBAHASAN

  1. 1. Pengertian dan perkembangan korupsi di Indonesia

Korupsi bukanlah suatu hal yang asing bagi setiap kalangan dalam masyarakat Indoneisa. Bahkan korupsi merupakan masalah yang dihadapi seluruh bangsa di dunia terutama bagi negara-negara berkembang. Namun korupsi merupakan tindak pidana yang sangat merusak tatanan ekonomi, kehidupan bermasyarakat, dan kesejahteraan bangsa. Sehingga secara hubungan internasional sering dibicarakan dalam forum-forum resmi karena korupsi sudah menjadi semacam tindak pidana yang luar biasa.

Korupsi bisa diartikan sebagai suatu tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri) atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi, termasuk masalah etika dan moral menurut pandangan masyarakat umum.[3] Sedangkan Sudarto menyatakan bahwa korupsi berasal dari bahasa latin corruptio, corruption dalam bahasa inggris dan corruptie dalam bahasa Belanda. Korupsi disam,ping dipakai untuk menunjuk keadaan atau perbuatan yang busuk, juga disangkutpautkan kepada ketidakjujuran seseorang dalam bidang keuangan.[4] Artinya korupsi selalu dipautkan dengan adanya suatu tindak pidana yang berkaitan dengan keuangan negara atau terganggunya perekonomian negara yang akibatnya adalah akan memperkaya diri sendiri, orang lain atau kelompok.

Sedangkan Bank Dunia mendefinisikan korupsi sebagai an abuse of public power for private gains, dengan bentuk-bentuk dari korupsi tersebut antara lain : politikal coruption atau grand corruption (korupsi yang terjadi oleh penguasa, politisi dan pengambil keputusan), bureacratic  corruption atau petty corruption ( terjadi dalam administrasi publik), Electoral corruption (terjadi pada proses pemilihan umum), privat or individual corruption (kolusi antar individu), collective corruption (yang terjadi di suatu organisasi atau lembaga), active and passive corruption (suap menyuap terkait dengan pelaksanaan tugas) dan corporate corruption (terjadi dalam sebuah perusahaan).[5]

Dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, menyatakn korupsi adalah kumpulanorang dan atau kekayaan yang terorganisir baik merupakan badan hokum maupun bukan badan hokum. Dalam Undang-Undang ini pula diatur mengenai perbuatan yang termasuk tindak pidana korupsi adalah:

  1. Setiap orang yang secara melawan hokum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.
  2. Setiap orang dengan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.

Perbincangan tentang korupsi di Indonesia seperti tiada ada habis-habisnya, meskipun ada penguatan upaya pemberantasannya, tetapi belum mewujudkan crime rate korupsi kearah penurunan. Jeremy Pope mensinyalir korupsi makin mudah ditemukan di berbagai bidang kehidupan. Pertama, karena melemahnya nilai-nilai sosial, kepentingan pribadi menjadi lebih utama dibanding kepentingan umum, serta kepemilikan benda secara individual menjadi etika pribadi yang melandasi perilaku sosial sebagian besar orang. Kedua, tidak ada transparansi dan tanggung jawab sistem integritas publik.[6] Meningkatnya aktifitas korupsi menurut Patrick Glynn, Stephen J. Korbin dan Moises Naim, baik yang sesungguhnya maupun yang dirasakan ada dibeberapa negara, karena terjadinya perubahan politik yang sistematik, sehingga memperlemah atau menghancurkan tidak saja lembaga sosial dan politik, tetapi juga hukum.[7]

Menurut Dudu Duswara Machmudin, meningkatnya tindak pidana korupsi  yang tidak terkendali kemungkinan besar akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan keuangan negara, perekonomian nasional dan menghambat pembangunan nasional. Oleh karena itu sekarang tindak pidana korupsi tidak dapat lagi dikategorikan sebagai kejahatan biasa, melainkan telah menjadi suatu kejahatan yang luar biasa. Begitu juga dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan dengan secara biasa, melainkan harus dituntut dengan cara-cara yang luar biasa pula, termasuk putusan pengadilan yang harus setimpal agar mempunyai efek jera, sehingga akan terlihat efektifitas hukum dan undang-undang yang ada relevansinya dengan tindak pidana korupsi tersebut.[8]

  1. 2. Penerapan yurisdiksi negara dalam penyelesaian perkara kejahatan korupsi transnasional

Dalam hubungan internasional yang merdeka, semua negara mempunyai kedudukan  yang sederajat, mempunyai kedaulatan yang sama dan tidak bisa turut campur dalam urusan negara lain. Prinsip-prinsip hukum internasional tersebut merupakan derivasi dari prinsip “ par in parem non habet liberum” dalam hukum internasional artinya bahwa negara yang sama kedudukannya dalam hukum internasional tidak mempunyai yurisdiksi terhadap negara lain.  Berdasarkan prinsip ini maka sebuah negara mempunyai yurisdiksi.

Menurut Hans Kelsen[9] prinsip “ Par in parem no habet liberum” mengandung pengertian bahwa pertama suatu negara negara tidak melaksanakan yurisdiksi melalui pengadilanya terhadap segala tindakan negara lain kecuali adanya persetujuan dari negara tersebut. Kedua Pengadilan internasional yang dibentuk dengan perjanjian internasional tidak dapat mengadili negara yang tidak ikut dalam perjanjian tersebut dan suatu tidak berhak untuk menilai keabsahan dari negara lain yang dilakukan di wilayahnya.

Yurisdiksi mengandung pengertian kekuasaan atau kewenangan hukum negara terhadap orang atau benda serta peristiwa hukum yang terjadi di negaranya[10]. Atas dasar inilah maka setiap negara akan membuat aturan-aturan yang tentunya ditindak lanjuti dengan suatu perjanjian dengan negara lain melalui bentuk kerja sama. Sehingga setiap negara dalam menyelesaiakan perkara kejahatan transnasional tidak menabrak sistem hukum yang berlaku di negara lain.

Dalam pengertian lain yurisdiksi mengandung tiga pengertian kapasitas hukum atau kekuasaan negara untuk membentuk, menegakkan dan melaksanakan hukum pada sampai batas wilayah suatu negara[11]

Jurisdiksi negara dalam suatu wilayahnya terbagi dalam tiga komponen utama yaitu :

  1. Yurisdiksi legislatif (legislative jurisdiction). Yaitu kekuasaan negara untuk membuat peraturan perundang-undangan yang mengatur segala peristiwa hukum, hubungan hukum atau status hukum seseorang yang terjadi di di wilayahnya.
  2. Yurisdiksi ekaekutif (executive jurisdiction).yaitu kewenangan negara untuk melaksanakan atau menegakkan hukum agar subyek hukum menaati hukum di negaranya.
  3. Yurisdiksi Pengadilan (Judicial jurisdiction). Yaitu kekuasaan pengadilan untuk mengadili subyek hukum yang melanggar peraturan perundang-undangan di negaranya.[12]

Dalam melaksanakan kekuasaan pengadilan suatu negara terhadap subyek hukum yang melanggar peraturan perundang-undanganya (khususnya dalam hukum pidana transnasional) pada umumnya negara di dunia mengenal beberapa asas seperti asas teritorial, asas nasionalitas aktif, nasionalitas pasif dan asas universal. Asas ini kemudian dipandang sebagai dasar keberlakuan kaidah hukum pidana terhadap peristiwa pidana transnasional.

Asas-asas hukum pidana sebagaimana disebutkan di atas merupakan asas hukum yang dianut oleh hampir seluruh negara di dunia. Oleh karena itu menurut I Wayan Parthiana[13] merupakan asas-asas umum hukum  internasional ( General principles of  law). Bahkan bila dikaitkan dengan sumber hukum internasional asas-asas tesebut dapat dianggap sebagai sumber hukum internasional yaitu prinsip-prinsip hukum umum yang diterima oleh masyarakat yang beradab sebagaimana yang dimaksukan oleh ketentuan pasal 38 ayat (1) butir b statuta Mahkamah Internasional.

Prinsip ini menyatakan bahwa suatu negara dapat memberlakukan hukum pidananya terhadap warga negaranya yang melakukan tindak pidana transnasional, sekalipun pelaku tindak pidana ini berada dalam yurisdiksi negara lain. Yang ditekankan dalam prinsip ini adalah kewarganegaraan pelaku bukan pada locus delicti atau korban dari tindak pidana.[14] Tentunya juga menghormati sistem hukum negara lain dimana pelaku kejahatan itu berada.

Hukum internasional tidak membatasi tetapi secara eksplisit membatasi yurisdiksi yang dijalankan oleh suatu negara kecuali pembatasan itu ditentukan oleh hukum internasional. Tetapi jika pelaksanaan yurisdiksi dari suatu negara melanggar yurisdiksi negara lain maka negara tersebut harus dapat membuktikan tentang adanya pelanggaran.[15] Agar tidak terjadi pelanggaran yurisdiksi, maka harus diadakan suatu kerjasama suatu misal melalui perjanjian ekstradisi atau perjanjian tindak pidana timbal balik (MLA).

Disamping itu terdapat suatu pengecualian, dan menurut Yudha Bhakti Ardiwisastra[16] disebabkan karena hukum internasional  tidak memberikan batasan yang jelas terhadap aplikasi dari yurisdiksi negara, maka negara-negara yang mempunyai kekuatan di segala bidang dapat menerapkan yurisdiksinya sesuai dengan kepentingan negaranya, dengan tanpa memperhatikan batas-batas yurisdiksinya. Pengecualian ini tentunya tidak didasarkan pada hubungan antar negara yang harus saling menghormati sistem hukum yang berlaku dimasing-masing negara.

  1. 3. Perangkat hukum pemberantasan korupsi transnasional

Usaha pemberantasan korupsi di negara kita yang telah dimulai pada masa-masa awal kemerdekaan yang hingga runtuhnya rezim orde baru tampaknya belum bersifat efektif dan efisien tetapi sebaliknya justru bertambah marak, terlebih-lebih lagi pada masa orde baru. Kesemuanya itu mencerminkan bahwa kejahatan korupsi juga harus diperhatikan, diprioritaskan dan ditangani dengan cara-cara yang luar biasa (extra ordinary methode). Belajar dari berbagai pengalaman di atas, kemudian masyarakat melakukan reformasi untuk menggulingkan rezim orde baru dengan salah satu agenda utama berupa pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Pasca tumbangnya orde baru, pemerintahan kita pada dasarnya telah menetapkan landasan yang kuat sebagai sarana utama untuk memberantas korupsi dengan ditelurkannya berbagai kebijakan yang dituangkan ke dalam peraturan perundang-undangan yang antara lain Tap MPR RI No. XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggaran Negara  yang Bersih dari Kolusi, Korupsi dan Nepotisme; Undang-Undang (UU) No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaran Negara  yang Bersih dari Kolusi, Korupsi dan Nepotisme; UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; dan terakhir UU No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (atau disebut Komisi Pemberantasan Korupsi).

Hanya saja kemudian, keseluruhan peraturan perundang-undangan yang disebutkan di atas tidak dimaksimalkan penerapannya hingga saat sekarang, sehingga pemberantasan korupsi seolah-olah berjalan di tempat. Ini dapat terlihat dari berbagai hasil audit dan penelitian baik yang dilakukan oleh pihak pemerintah, misalnya Badan Pemeriksa Keuangan maupun pihak swasta yang bersifat independen misalnya Lembaga Transparansi Internasional (International Transparancy Institution).

Pada mulanya kita sempat optimis terhadap upaya pemberantasan korupsi dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 43 UU No. 31 Tahun 1999 melalui UU No. 30 Tahun 2002, hanya saja kemudian KPK bisa berbuat banyak untuk memberantas korupsi tetapi masih terbatas korupsi didalam negeri dan belum menyentuh korupsi yang bersifat lintas negara seperti kasus BLBI misalnya. Dan yang lebih penting lagi adalah bahwa apabila KPK dapat bergerak mulai dari sekarang dampak korupsi baik pada negara maupun masyarakat dapat diminimalisasi, sesuai dengan besarnya kewenangan yang ada pada badan tersebut.

Keterbatasan KPK didalam mendobrak kejahatan korupsi transnasional tentunya harus didukung pula oleh beberapa instansi dan sistem hukum lainnya karena sudah pasti keberadaan KPK akan berbenturan dengan berbagai kepentingan. Terhadap situasi ini akhirnya pemerintah tanggap dan mendukungnya melalui upaya kerjasama dengan negara lain di bidang ekstradisi dan mutual legal assistance atau bantuan timbal balik dalam masalah pidana. Bahkan khusus untuk mutual legal assistance telah ditetapkan cara mainnya melalui Undang-undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana.[17]

Sebagaimana kita ketahui bahwa sampai saat ini antara Indonesia dan banyak negara belum menandatangani perjanjian ekstradisi maupun perjanjian lain berupa Mutual legal Assistence in Criminal matter. Oleh karena itu tidak ada dasar hukum bagi Indonesia untuk meminta negara-negara yang belum mempunyai hubungan kerjasama atau perjanjian bilateral untuk mengekstradisi pelaku tindak pidana korupsi ke Indonesia.

Namun demikian, walaupun melaui jalur ekstradisi atau MLA Indonesia tidak dapat mengadili pelaku kejahatan korupsi di Indonesia. Namun melalui undang-undang antikorupsi Indonesia dapat melakukan penuntutan secara in absentia terhadap pelaku korupsi yang berada di luar negeri. Tetapi masalahnya adalah kerugian Indonesia karena tidak akan berhasil menarik asset-asset kekayaan yang tentunya juga berada diluar negeri.

Selain ketentuan-ketentuan diatas jika Indonesia kesulitan untuk memerangi pelaku tindak pidana korupsi yang melarikan diri keluar negeri, keberadaan United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 yang telah diratifikasi menjadi UU No. 7 Tahun 2006 sehingga dapat digunakan sebagai akses untuk melakukan kerjasama internasional dengan berbagai Negara lainnya, karena tindak pidana korupsi sudah berkembang menjadi kejahatan transnasional.

Dengan segala kendala yang mungkin akan terjadi tersebut, pihak yang paling terkait langsung dengan proses MLA di Indonesia adalah Menteri Hukum dan HAM yang menurut undang-undang diposisikan sebagai otoritas sentral (central authority). Menteri Hukum dan HAM dapat meminta seorang pejabat yang berwenang untuk melakukan tindakan kep[olisian. Hal ini berupa tindakan penggeledahan, pemblokiran, penyitaan, pemeriksaan surat dan pengambilan keterangan. Sebaliknya, Menteri Hukum dan HAM dapat pula menolak permintaan kerjasama MLA dari negara lain dalam hal tindakan yang diajukan itu dapat mengganggu kepentingan nasional atau berkaiatan dengan kasus politik dalam negeri.

  1. 4. Kendala pemberantasan tindak pidana korupsi transnasional

Perjanjian ekstradisi dan perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana atau lebih dikenal dengan istilah mutual legal assistance (MLA) belum bisa maksimal untuk mampu menyentuh pelaku korupsi transnasional, apalagi terhadap aset hasil kejahatan. Hal ini dikarenakan dalam perjanjian MLA tersebut lebih ditekankan terhadap perburuan terhadap para pelaku tindak pidana korupsi, tetapi bukan sepenuhnya terhadap proses pengembalian asset hasil tindak pidananya (buat apa orang bisa di bawa pulang, tetapi asetnya tidak bisa ditarik sama sekali).  Selain itu, pada perjanjian ekstradisi disebutkan bahwa pelaksanaannya bisa mundur sampai 15 tahun kebelakang, tetapi MLA justru bisa untuk menarik aset para koruptor berlaku sejak tanggal ditandatangani, yang menjadi pertanyaan mengapa hal itu terjadi?, [18]

Kendala lainnya adalah adanya sistem hukum yang berbeda pada setiap negara sehingga untuk bisa menerapkan hasil perjanjian kerjasama tersebut akan terhambat ketika harus mengadakan penyesuaian-penyesuaian terhadap sistem hukumnya. Apalagi sudah bisa dipastikan bahwa setiap negara selalu ingin mengambil keuntungan dalam setiap melakukan kerjasama internasional termasuk dalam membuat perjanjian baik perjanjian ekstradisi maupun perjanjian MLA. Kecenderungan ini bisa dirasakan dengan minimnya jumlah perjanjian-perjanjian internasional atau bilateral yang menyangkut ekstradisi dan MLA yang dilakukan oleh negara Indonesia. Terbukti dengan adanya empat perjanjian MLA dan tujuh perjanjian ekstradisi, dalam penerapannya belum tampak maksimal hasilnya.

Kendala lainnya dalam masalah prosedur MLA adalah ketika yang menjadi pusat otoritas adalah Menteri Hukum dan HAM, sehingga sudah dipastikan akan terjadi prosedur formal (administrasi/birokrasi) yang harus ditempuh oleh KPK, Kejaksaan dan Kepolisian. Tidak disebutkan apakah permintaan bantuan akan langsung diteruskan ataukah Menteri Hukum dan HAM dapat menyeleksi terlebih dahulu permintaan bantuan tersebut. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa diantara ketiga instansi tersebut perlu sebuah kesepakatan tertentu setidak-tidaknya komitmen yang sama tentang hal pentingnya permintaan bantuian.[19]

Lebih lanjut dijelaskan oleh Komariah Emong, bahwasannya yang bisa menjadi hambatan lainnya adalah tentang upaya untuk menghadirkan orang. Siapakah yang menentukan orang yang dimaksud? Hal ini dengan Pasal 16 UU No. 1 Tahun 2006 yang tidak mengancamkan sanksi bagi seseorang yang diminta kehadirannya ke Indonesia dalam rangka proses hukum.[20]

Demikian pula kenyataannya dengan perjanjian kerjasama dibidang ekstradisi, dimana Indonesia selalu kesulitan untuk mendapatkan para pelaku tindak kejahatan transnasional walaupun dengan negara yang sudah melakukan perjanjian ekstradisi dengan negara Indonesia. Selain kendala perbedaan pengaturan dan sistem hukumnya juga masalah kepentingan setiap negara yang dalam hal ini terlindungi oleh adanya yurisdiksi negara tersebut. Dan yang juga harus dipertimbangkan bahwasannya ketentuan ekstradisi suatu negara juga terdapat ketentuan untuk melakukan penolakan terhadap keinginan negara lain untuk melakukan ekstradisi.

Apalagi terhadap negara-negara yang belum melakukan kerjasama secara khusus, maka akan sulit sekali jika terdapat kepentingan suatu negara terhadap pelaku kejahatan, kecuali jika negara tersebut tidak mempunyai kepentingan sama sekali dengan pelaku kejahatn maka perburruan terhadap pelaku kejahatan bisa dilaksanakan sesuai dengan hukum internasional seperti kerjasama interpol yang berlaku universal.

Menurut Romli Atmasasmita, dalam bukunya Pengantar Hukum Pidana Internasional menyatakan,[21] secara umum kendala-kendala di dalam pelaksanaan perjanjian ekstradisi ini meliputi kendala yang bersifat “Judisial” dan kendala yang bersifat “Prosedural (Diplomatik)”. Kendala yang bersifat judicial menyangkut proses penetapan oleh pengadilan dari negara yang dimintakan ekstradisi dan memerlukan bukti-bukti secara teliti sehingga memerlukan waktu yang tidak singkat serta beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh negara peminta ekstradisi sesuai dengan isi ketentuan perjanjian ekstradisi yang diakui secara internasional, sedangkan  kendala  yang  bersifat  diplomatik  adalah  pelaksanaan perjanjian ektradisi  yang dalam kenyataannya sering menimbulkan sensitivitas hubungan diplomatik antara ke dua negara yang terlibat di dalam pelaksanaan ekstradisi tersebut.

Sehingga kendala yang berpengaruh dalam rangka pelaksanaan perjanjian internasional melalui kerjasama bilateral antara negara baik di bidang ekstradisi maupun MLA adalah karena adanya prinsip yurisdiksi, prinsip kedaulatan negara dan perbedaan sistem hukum masing-masing negara.

Setiap negara mempunyai yurisdiksi tersendiri yang tentunya tidak boleh bertabrakan dengan yurisdiksi negara lainnya. Sehingga setiap upaya penegakan hukum yang melibatkan antar negara harus memperhatikan faktor yurisdiksi melalui penyesuaian-penyesuan yang saling menguntungkan kedua negara atau lebih. Mengenai prinsip kedaulatan negara sudah pasti harus dipertimbangkan karena kedaulatan negara merupakan faktor penting agar setiap proses penegakan hukum yang melibatkan negara lain tidak merugikan kehormatan dan kedaulatan negara. Sedangkan perihal sistem hukum yang berbeda pada setiap negara harus disikapi melalui pertemuan-pertemuan intensif secara bilateral atau multilateral, agar nantinya dalam pelaksanaan dilapangan oleh masing-masing aparat penegak hukumnya tidak saling berbenturan yang jika terjadi justru akan menyulitkan penyelkesaian setiap tindak pidana transnasional selanjutnya.

Kendala lainnya adalah jika terjadi suatu pengecualian terhadap proses perjanjian internasional melalui suatu kerjasama antar negara atau lebih. Suatu misal adanya pengecualian karena adanya negara yang mempunyai kekuatan sehingga akan berbuat seenaknya terhadap yurisdiksi negara lain, sedangkan negara tersebut tidak bisa berbuat banyak ketika kepentingannya terganggu. Suatu misal keberadaan negara Amerika Sertikat yang selalu menganggap mudah untuk memburuh pelaku tidak kejahatan yang telah merugikan negaranya keberbagai negar walaupun tidak ada perjanjian ekstradisi atau MLA dengan negara lain. Dan sebaliknya bagi suatu negara yang kebetulan hendak memburu pelaku tindak kejahatan yang sembunyi di negara Amerika Serikat, maka tidak  semudah diselesaikan walaupun dengan negara tersebut sudah ada semacam perjanjian tertentu apalagi jika negara tersebut tidak pernah melakukan perjanjian bilateral sebelumnya.

BAB III

PENUTUP

Oleh karena kejahatan korupsi dewasa ini tidak hanya dilakukan oleh pejabat atau warga negara dari suatu negara, tetapi juga dilakukan oleh warga negara asing yang hadir di suatu negara untuk menjalankan kegiatan usahanya yang dapat merugikan negara setempat, maka sudah saatnya Indoensia mulai mengantisipasi terjadinya tindak pidana yang bersifat lintas negara dengan terlibat dalam perjanjian bilateral baik itu perjanjian ekstradisi ataupun perjanjian Mutual legal assistence in criminal matter dengan negara-negara lain. Selain itu dalam tingkat Internasional yang lebih luas Indonesia sudah seharusnya untuk segera meratifikasi perjanjian internasional yang dapat menguntngkan indonesia dalam memberantas kejahatan korupsi.

Kerja sama internasional berupa perjanjian ekstradisi ataupun mutual legal assistance (MLA) dengan negara lain belum banyak bisa diharapkan mampu untuk menyelesaiakan berbagai kasus tindak pidana korupsi transnasional. Secara teori, seharusnya kita optimis bahwa kedua bentuk kerjasama tersebut adalah langkah terbaik untuk mencegah bahkan memberantas timbulnya tindak pidana korupsi transnasional, setidak-tidaknya telah cukup untuk memberikan jalan keluar dan alternatif walaupun disana sini terdapat kendala dan hambatan karena adanya sistem hukum yang berbeda disetiap negara. Seharusnya setiap negara di dunia mempunyai itikad baik untuk membuat MLA dan ekstradisi global sehingga pelaku kejahatan tidak memiliki ruang lagi untuk melarikan diri agar terciptanya dunia yang damai.

DAFTAR PUSTAKA

Andi Hamzah, 1991. “Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya”. Jakarta: Gramedia.

____________, 2007, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Chaerudin, 2008, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, Bandung: Refika Aditama.

Ediwarman. 1991. Kriminologi dan Korupsi.Medan: Universitas Sumatera Utara.

Hans Kelsen, 1956, Principles of International Law, New York: Rinehart & Co.

Huala Adolf, 2002, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional,  Jakarta: Raja Grafindo Persada.

I Wayan Parthiana, 2003, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, Bandung: Yrama Widya.

Jeremy Pope, 2003, Strategi Memberantas Korupsi, Jakarta: Transparancy Internasional Indonesia.

Kimberly Ann Elliot, 1999, Corruption and the Global Economy (terjemahan), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2007, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Alumni.

Mochtar Kusumaatmadja, 2006, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan (kumpulan karya tulis), Bandung: Alumni.

Robert Klitgaard, 2005, Membasmi Korupsi (terjemahan), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Romli Atmasasmita, 2000, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Bandung: Refika Aditama.

Sitorus Rosmalina. 2002. Sari Kuliah Tindak Pidana Korupsi. Medan: Penerbit Fakultas Universitas Nommensen.

Sudarto, 1996, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni.

William R Slomanson, 1999, Fundamental Perspective on International Law, California: West Thomson learning.

Wiyono. R, 2006, pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika.

Yudha Bhakti Ardiwisastra, 2003, Hukum Internasional : Bunga Rampai, Bandung: Alumni.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana.

UU  Nomor 30 tahun 2002. Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

UU No 31 Tahun 1999 Jo UU No 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan korupsi

Makalah

Dudu Duswara Machmudin, 2007, Konsepsi, Visi, Misi Dan Strategi Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia.

Komariah Emong, Harapan dan Tantangan Implementasi UU No. 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana.

Muladi, 2005, Konsep Total enforcement dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Makalah, Jakarta: Lemhanas RI.


[1] Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 2007 hlm. 143.

[2] Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan (kumpulan karya tulis), Alumni, Bandung, 2006, hlm. 125.

[3] Robert Klitgaard, Membasmi Korupsi (terjemahan), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2005, hlm. 31.

[4] Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1996, hlm. 115.

[5] Muladi, Konsep Total enforcement dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Makalah, Lemhanas RI, Jakarta, 2005.

[6] Jeremy Pope, Strategi Memberantas Korupsi, Transparancy Internasional Indonesia, Jakarta, 2003,    hlm. 2.

[7] Kimberly Ann Elliot, Corruption and The Global Economy (terjemahan), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1999, hlm. 11.

[8] Dudu Duswara Machmudin, Konsepsi, Visi, Misi Dan Strategi Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Makalah, 2007.

[9] Hans Kelsen,Principles of International Law,New York, Rinehart & Co , 1956,hal.235 sebagaimana terkutip dalam Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional,  Jakarta, Raja Grafindo Persada, edisi revisi, 2002.hal 184

[10] Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional,  Jakarta, Raja Grafindo Persada, edisi revisi, 2002.hal 183.

[11] William R Slomanson, Fundamental Perspective on International Law, California, West Thomson learning, 1999. Hal 207.

[12] Huala Adolf. Op.cit 185.

[13] I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, Bandung, Yrama Widya, 2003, hal.11

[14] Yudha Bhakti Ardiwisastra, Hukum Internasional : Bunga Rampai, Bandung , Alumni, 2003, hal.9

[15] Ibid. hal.99

[16] ibid. 104

[17] Undang-undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana.

[18] Lihat KOMPAS. “Politik dan Hukum’’ Tanggal 5 Juni 2007.hlm 5.

[19] Komariah Emong, Harapan dan Tantangan Implementasi UU No. 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana, Makalah.

[20] Ibid.

[21] Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Refika Aditama, Bandung, 2000, Hlm 25.

Tinggalkan komentar